Tenang dan menghanyutkan menjadi kata yang cocok menggambarkan Marry My Husband Japan. Minim adegan meledak-ledak, drama perselingkuhan dan balas dendam ini mampu membuat penonton hooked dan terbawa hingga akhir.
Marry My Husband Japan bisa saya bilang sebagai drama perselingkuhan yang paling kalem. Semua dilakukan dengan tenang dan elegan hingga ke titik saya meyakini drama ini merupakan salah satu hasil adaptasi terbaik yang pernah ditonton.
Satu hal yang benar-benar saya syukuri adalah keputusan tim produksi mengambil pendekatan berbeda dalam mengadaptasi, seperti hanya fokus pada empat karakter utama, terutama perjalanan Misa (Fuka Koshiba) menata kehidupan keduanya.
Drama ini memiliki 10 episode dan menurut saya itu sangat bijak karena tempo dan penceritaan jadi padat di tiap episode dan ketegangan tetap terjaga.
Mereka fokus pada satu masalah, kedalaman emosional dan pengembangan karakter utama, termasuk yang antagonis, tanpa melebar ke side story dan side characters yang berpotensi membuat bosan.
Sehingga, hati saya penuh rasa syukur ketika menonton dua episode akhir tanpa kehadiran karakter baru yang sesungguhnya tidak perlu dalam cerita.
Hal itu pula membuat tidak ada adegan yang saya skip dari drama ini. Setiap detik Marry My Husband Japan penuh kejutan dan elemen yang membuat penonton semangat lanjut ke episode selanjutnya.
Saya amat apresiasi tim produksi dan kreatif yang memutuskan ambil pendekatan dengan masyarakat dan budaya Jepang, meski mengadaptasi karya original dari Korea.
Semua aspek dalam drama ini meneriakkan kata “Jepang” dan itu hal yang bagus. Dimulai dari visual yang penuh estetika hingga membuat saya sempat terpikir bahwa drama ini menggunakan soft power mempromosikan keindahan wisata dan kuliner Jepang.
Pencahayaan dan sinematografi membuat visual drama ini tak ada yang jelek atau biasa saja. Semua terasa begitu indah dan cantik. Tim di belakang kamera dan teknis memahami kapan harus merekam agar pemandangan terlihat lebih indah.
Di dalam ruangan, di luar ruangan, pagi, malam – kapan pun atau di mana pun, mereka melakukan yang terbaik untuk memberikan penonton pemandangan yang paling menakjubkan.
Hal itu yang kemudian menyempurnakan penyampaian cerita drama ini sehingga sepenuhnya mencerminkan pengendalian emosi yang tenang dan sering ditemukan dalam penceritaan Jepang.Marry My Husband Japan mengeksplorasi tema-tema mendalam, seperti penyesalan, rasa bersalah, dan perbaikan diri, bukan melalui adegan-adegan yang meledak-ledak. Semua melalui percakapan yang tenang, gestur-gestur kecil, dan keheningan yang bermakna.
Sutradara Ahn Gil-ho setelah sukses dalam mengarahkan The Glory dan Stranger kini juga berhasil membuat Marry My Husband Japan jadi sebuah karya yang menyeimbangkan realisme emosional dan budaya.
Ia dengan cermat dan detail dalam menghadirkan adegan-adegan pergulatan batin para karakter yang memancing tepuk tangan penonton ketika menyaksikannya.
Namun, semua itu tidak bisa berjalan sendiri. Kesempurnaan drama ini juga berada di tangan Satomi Oshima selaku penulis naskah.
Dialog-dialog ikonis yang ada dalam karya original dan sudah ditampilkan dalam versi Korea, seperti “Thank you for picking up my discarded trash” disajikan berbeda dan lebih spektakuler untuk versi Jepang karena build up yang konsisten dan tetap pada jalurnya.
Begitu pula dengan, “I’d be an unnamed background extra. Just Student A. Interviewer B. Boss C. A background extra with no lines. I never would have been a part of her story. But on September 18th, 2015: Director Suzuki,” yang benar-benar memiliki ruang khusus di hati saya.
Ketika kata-kata itu disampaikan, kalimat tersebut terasa bak gong dan mengagumkan secara natural, bukan sekadar dialog yang ditaruh begitu saja karena adegan itu seharusnya menjadi klimaks.
Pengarahan dan screenplay yang bagus semakin diperkuat dengan akting seluruh pemainnya.
Tak bisa dipungkiri, Takeru Satoh menjadi penarik awal saya untuk menyaksikan Marry My Husband Japan. Seiring berjalannya episode, tanpa disadari, saya benar-benar menyukai seluruh pemain dan elemen drama ini.
Takeru Satoh, tanpa diragukan, berhasil memerankan Wataru Suzuki dengan energinya yang lembut, protektif, dan penuh kasih sayang di sepanjang serial. Dia lah si cowok green forest itu.
Bintang utama yang juga tak perlu diragukan lagi adalah Fuka Koshiba. Saya percaya pada setiap air mata, senyum Misa, baik itu kebahagiaan, kesedihan, kemarahan, ketidakberdayaan atau harapan, frustrasi, kebingungan, dia berhasil menyampaikan setiap emosi dengan tepat.
Apresiasi setinggi-tingginya juga saya berikan kepada tiga antagonis drama ini, terutama Sei Shiraishi. Sejujurnya, saya sempat mengkhawatirkan penggambaran Reina menyusul yang versi Korea mendapatkan pujian dari penonton, di luar kontroversi yang menjerat artisnya.
Setelah menyaksikan episode pertama, ternyata kekhawatiran saya tidak berdasar. Penampilan Sei Shiraishi jauh melebihi ekspektasi saya tentang seseorang yang tidak pernah suka dan selalu merebut kebahagiaan orang lain.
Tak hanya itu, dia paham betul bagaimana membuat karakter green tea girl hidup. Green tea girl merupakan perempuan yang menampilkan dirinya begitu manis, polos, baik hati, demi mendapatkan keinginannya, seperti uang, kekuasaan, dan cinta.
Sei Shiraishi menghidupkan karakter Reina dengan sempurna dan memuaskan, terutama saat melihat wajahnya berubah dari manis menjadi berbisa.
Sederhananya, dia sangat manipulatif. Dan itu ia tampilkan amat baik sejak episode 1, perlahan tapi pasti memancing emosi penonton hingga puncaknya di episode 9-10 untuk menampilkan sisi jahatnya secara utuh.
Namun, ketimbang karakter Reina, darah saya lebih mendidih melihat paket ibu dan anak, Masako Hirano (Satoko Abe) dan Tomoya Hirano (Yu Yokoyama). Mereka berdua menampilkan patriarki dan mama boy to another level.
Ketika melihat mereka, saya langsung teringat dengan film Kim Ji-young: Born 1982 karena Masako dan Tomoya sungguh-sungguh menjadi momok bagi perempuan, baik yang belum, sedang menyiapkan, apalagi yang sudah berumah tangga.
Satoko Abe sebagai ibu, calon mertua, dan mertua berhasil membuat penonton sudah tahu mulutnya tidak akan mengeluarkan perkataan yang baik, meski ia baru muncul di layar.
Big applause to Yu Yokoyama karena berhasil menghapus bersih unsur komedi yang selama ini melekat dalam dirinya, dan menjadi ‘musuh’ perempuan hingga ke titik sulit untuk melihatnya di layar kaca saat memerankan Tomoya.
Dia ciamik dalam menampilkan sosok laki-laki yang ternyata memiliki semua aspek harus dihindari perempuan dalam memilih pasangan hidup.
Namun, adegan yang mempertemukan Reina, Tomoya, dan Masako selalu saya nantikan untuk melihat siapa yang ternyata menjadi ultimate villain dalam drama tersebut.
Secara keseluruhan, saya benar-benar menikmati dan merekomendasikan Marry My Husband Japan kepada semua calon penonton.
Dimulai dari yang sama sekali tidak tahu Marry My Husband, belum membaca webtun dan belum menonton versi Korea, saya sangat merekomendasikan drama ini karena bisa puas merasakan pengalaman menonton pertama kali tanpa ekspektasi untuk kandidat utama drama terbaik tahun ini.
Kalau boleh saya sarankan, ada baiknya menyaksikan versi Jepang terlebih dahulu, baru baca webtun atau nonton versi Korea untuk menambah hal-hal yang mungkin dirasa kurang.
Begitu pula untuk yang sudah membaca webtun dan menonton versi Korea, saya tetap merekomendasikan ini karena pendekatan berbeda yang diambil tim produksi membuat beberapa hal dibedah lebih dalam, bahkan memberikan point of view baru yang tidak ditemukan dalam versi lain.
Pada akhirnya, Marry My Husband Japan merupakan drama yang sangat layak mendapatkan bintang lima, tanpa catatan, karena semua aspek paripurna bahkan melampaui karya originalnya.
Tak hanya itu, mereka juga sukses menyampaikan pesan utama dari karya original dan tepat sasaran tentang hidup tanpa penyesalan, tanpa menunggu kesempatan yang mungkin tidak pernah datang.